RAHASIA SETAN

MENJADI muslim, bersyukurlah semaksimal mungkin. Panduannya tidak main-main. Semuanya diperhatiin. Hal itu semata-mata untuk keselamatan manusia untuk sampai ke tujuan. Ada awal, ada proses, dan berakhir di tempat yang ditentukan. Secara robotic, manusia akan aman. Tapi manusia memilih kemerdekaan, dengan resiko terhambat di perjalanan. Setan meminta kesempatan untuk menyesatkan, manusia yang harus menyelesaikan ujian.

Tersebutlah dalam panduan bahwa setan dan manusia bermusuhan. Awalnya saat sujud menjadi permintaan. Allah yang meminta, bukan manusia. Tapi setan enggan, dan menolak dengan ‘kesombongan’ bahwa bahan ciptaannya lebih baik dari bahan ciptaan untuk manusia. Allah pun menetapkan status setan sebagai pembangkang dan mendapatkan pengecualian. Setan pun sangat membara untuk membalaskan dendam.

Manusia adalah alasan, karena tidak mungkin melawan Tuhan. Oleh karena itu, setan menerima kutukan dengan meminta keistimewaan. Allah pun mengabulkan. Setan tidak akan pernah menemui kematian sampai kiamat datang. Bukan hanya itu, justru yang terpenting adalah restu terkait melepaskan manusia dari penjagaan. Setan meminta Dia untuk mengizinkan manusia terperdaya oleh tipu daya dan rayuan mautnya. Dia pun mengizinkan.

Informasi ini penting untuk diketahui manusia, dan Alquran membuka segala tabir rahasia. Dalam perlombaan, penting sekali mengetahui apa yang kita punya dan apa yang dimiliki oleh lawan lomba. Semakin baik pengetahuan akan semakin bagus dalam persaingan. Sebelum pertandingan, bisa diprediksi siapa yang akan menjadu pemenang. Apalagi jika pertarungan untuk saling mengalahkan.

Sebagai kasih sayang, Allah melengkapi informasi dengan transparan. Bahkan very confidential, supaya manusia selamat dalam perjalanan. Setan sendiri yang mengatakan. Manusia ditantang kecerdasannya untuk sampai pada tahap kesadaran. Tahapan ini yang harus diperjuangkan sesuai dengan kesempatan yang diberikan. Manusia jangan membuang-buang peluang karena potensi itu sangat bisa dikembangkan.

“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu, tapi aku menyalahi janjiku kepadamu. Aku hanya bisa menyeru. Ternyata kamu begitu antusias menyambut rayuanku.” Aku pun bergembira dengan kebodohan kalian. Ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan, aku balas dengan cacian, “Kalian kok sombong sekali dengan kebodohan!”

Kalau aku tidak bertanggung jawab, itulah aku. Kalau aku menghalangi jalan, itulah hobi aku. Kalau sesuatu tampak berkilau dalam penampilan, itulah perbuatanku. Kalau aku melambaikan tangan, merayu-rayu dengan kecantikan, begitulah ekspektasi manusia terhadap diriku. Kalau manusia tersesat di jalan, lupa tentang keberadaan, acuh terhadap kebaikan, berarti aku lebih baik dari makhluk sempurna. Itulah kesenangan dari menggelincirkan.  

Very clear. Permusuhan ini tidak perlu saling mematikan karena setan tidak akan pernah mati, dan setan pun tidak sanggup mematikan manusia. Cara cerdas untuk mematikan setan adalah memutus saluran dan menutup pintu godaan. Dengan konsisten di jalan kebaikan, tidak berpaling karena keduniaan, Allah lah yang akan menghalau setan dan menghadang. Ingatlah baik-baik, setan sangat membutuhkan izin Allah untuk memalingkan.

Allah pun tidak sembarang memberikan izin. Allah sudah mematok dan memberi pagar, hanya keikhlasan yang menyelamatkan. Setan berharap manusia tidak tahu rahasia ini. Tapi meskipun banyak yang tahu, belum tentu mengerti dan memahami, apalagi menjalani. Setan pun tertawa riang, masih banyak manusia yang bangga beralasan. Wallahu a’lam.

LOWONGAN KESADARAN

Terpampang di koran, sebuah pengumuman. Full colour, satu halaman penuh. Isinya lowongan. Korannya bersifat Internasional. Tertulis di situ, jenis pekerjaannya membaca, tidak ada persyaratan apa-apa. Gajinya sepuluh juta. Bahkan ada insentif untuk lembur dan kelebihan bekerja. Alamat suratnya tidak ada. Hanya ada pengirimnya saja, Allah Ta’ala.

Para pembaca bertanya-tanya. Lowongan itu benar adanya atau hanya buang-buang duit saja? Semua ingin melamar, karena faktor angka. Di saat paceklik pendapatan dan tekanan harga-harga, banyak uang adalah solusi segala permasalahan. Tidak peduli persyaratan, apakah dari jin atau diberi oleh setan. Jadi sinting pun boleh jadi prioritas pilihan.

Besoknya, pengumuman itu muncul lagi. Tapi jenis pekerjaannya berganti. Dari membaca menjadi menulis. Gajinya bertambah besar, dua puluh juta sebagai gaji pokok. Honor dan uang lembur dihitung berdasarkan kuantitas dan kualitas. Tidak perlu dikirim kemana-mana, cukup disimpan di Laptop sendiri. Kalau belum punya laptop, Boleh disimpan di otaknya sendiri.

Negeri itu pun bergemuruh. Aparat sibuk dengan penjagaan ketertiban, keamanan, dan ketenteraman. Warga hilir mudik saling bertanya. Kemana lowongan ini harus dibawa? Kalau beritanya dusta, aparat harus mengusut tuntas penyebar hoax. Hal itu menyangkut harga diri. Ketika korannya didesak, kami tayangkan apapun yang selesai administrasi pembayaran.

Koran itu tidak jera atau merasa berdosa. Besoknya dimunculkan lagi. Kali ini pengumuman tentang membaca diri sendiri. Sifat pengumuman itu semacam sayembara atau Lomba berkarya. Hadiah bagi Sang Juara adalah gaji bulanan selama 10 tahun. Meskipun angkanya setara UMR, peluang ini menjadi trending topik di jagat maya.

Sebagaimana sedang menyebar, ada seorang kaya dari Jakarta. Ia pergi ke kampung untuk mencari tanah, dan berdialog lah di sawah. Si Kaya bertanya, “Ini tanah milik siapa?” Si Penunggu menjawab, “Milik Alloh” Kemudian berlanjut, “Alamatnya dimana? Dia itu ada dimana-mana, dan menyaksikan setiap gerak-gerik manusia” Dialog apik itu berakhir dengan KESADARAN. Keduanya bersujud di sawah.

Semoga Allah melapangkan dan memberkahi alm. Benyamin Sueb dan alm. Didi Petet.

Semoga kita juga pulang kepada-Nya dalam kesadaran dan kedamaian. آمين يا رب العالمين

UNTUK APA BERBOHONG

Kuncinya sukses dalam kehidupan adalah kejujuran. Sebaliknya, kebohongan adalah pintu masuk kehancuran. Kejujuran tidak bisa digabung dengan kebohongan. Sekalinya pernah berbohong, selalu ada hawa untuk mengulang kebohongan. Kalau hendak berbohong, satu-satunya alasan kebohongan adalah kematian.

Lembaga bisnis seperti warung, toko, distributor, atau perusahaan, tidak pernah menerima karyawan, pegawai, atau profesional yang hobi berbohong. Mereka akan memecat, bahkan mengirimkan ke penjara, para karyawan yang merugikan perusahaan. Mereka menginginkan semua penduduknya jujur dalam bekerja.

Allah menimpakan kesedihan supaya kesedihan itu cepat hilang. Sebagaimana kebahagiaan, Allah juga menitipkan kesedihan. Bagaimana mungkin kita berbahagia andai tetangga atau Saudara sedang berduka. Itulah sebabnya Allah menyediakan stok kesedihan. Tapi bersedihlah sesuai dengan kebutuhan, dan berbahagia lah sesuai dengan kebutuhan.

PERASAAN DALAM DILEMA

Ada mahasiswa. Dia memutuskan berbeda. Tidak mau seperti yang lainnya. Mungkin yang lain saja yang “harus” bergaya seperti dirinya. Dalam marketing, positioning itu sangat penting. Tapi dalam pembelajaran, memilih berbeda itu harus bersiap-siap dengan konsekuensi penilaian.

Andaikan pembeda itu masih sejalur dengan prinsip-prinsip pembelajaran, tentu tidak masalah. Bahkan menjadi validasi atas keunikan manusia. Tapi kalau pembeda itu di luar frame yang tersedia, sebaiknya tidak usah memaksakan diri menjadi sarjana. Nanti, terlalu banyak Dosen “dibuat” berdosa.

Misalnya saja. Seorang sarjana itu harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak yang berdebat tentang alat ukurnya dan bagaimana menimbangnya. Apalagi di luar sana, urusan beragama itu tidak mau dicampuri. Kata mereka, itu urusan pribadi. Hanya dia dengan Tuhannya.

Beruntung dalam Islam tidak demikian. Secara Islam, setia kepada ajaran agama adalah keuntungan tiada duanya. Ketenteraman adalah jaminan, dan ke surga tidak boleh sendirian. Kalau ada yang salah jalan, masa sih tidak diperingatkan? Kalau ada yang mau masuk jurang, masa sih dibiarkan?

Sebagai alat ukur, Allah tetapkan membaca sebagai tugas yang pertama. Tujuannya sangat luar biasa. Membaca adalah jendela dunia. Pikiran si pembaca akan diajak melanglang buana. Lisan mereka akan terjaga. Dan mereka akan disibukkan dengan membuat karya. Segala yang tidak berguna akan dijauhkan segera.

Kepada mahasiswa tadi, ukuran membaca belum diterapkan sebagai instrumen penilaian. Hanya saja, hamba sudah terbantu dengan asumsi dan teori. Kosongnya bacaan akan membuat kosong isi pikiran. Kalau tidak ada isi dalam pikiran, bagaimana mau memikirkan? Hanya untuk menyampaikan pertanyaan pun, belum layak disebut berkemampuan.

Di ruang pembelajaran, kehadirannya rendah sekali. Sekalinya hadir, pikirannya tak nampak hadir. Beberapa kali hamba melewati, daripada memancing emosi. Kalau hamba dianggap tak ada hati, mungkin hatinya telah lama mati. Darinya kesulitan mencari empati. Dia tidak mampu menghadirkan perasaan dan pikiran, aktivitasnya hanya gadget dan jari-jemari.

Entah kenapa, muncul saja tulisan huruf D. Terlintas dalam pikiran dan tergores dalam perasaan. Itulah “nilai” yang pantas dia dapatkan dari proses pembelajaran. Dan saya bersiap dengan kemungkinan gugatan dan tuduhan. Saya selalu menunggu di setiap pertemuan, adakah perubahan? Ternyata tidak saya dapatkan.

Apakah itu sudah menjadi pilihan? Kita tunggu reaksi setelah nilai diumumkan. Saya merasakan kasihan. Tapi saya tidak menemukan alasan yang pantas untuk memberi puncak penilaian. Orang tuanya yang harus menjelaskan, apakah karena pemaksaan, atau kelemahan dalam pendidikan.

Kampus tidak boleh menjadi korban, sehingga menjadi stempel tipu-tipuan. Katanya memiliki kompetensi, tapi kemampuan dasar pun tak dimiliki. Kalau untuk sekadar bekerja, kenapa harus berijazah tinggi-tinggi? Kalau hanya wara-wiri dan disuruh menyeduh kopi, tak perlu banyak kompetensi, asal etika sudah melekat di hati.

Dalam pembelajaran, semua pihak harus sehati. Peserta didik dan orang tua adalah yang utama, sehingga tidak salah memilih kawah candradimuka. Lembaga pendidikan dan penduduknya adalah pihak kedua. Sama pentingnya dengan pihak pertama. Kedua belah pihak harus intens berkomunikasi, karena manusia bukanlah benda mati.

Selama berkecimpung di dunia pendidikan, semuanya berisi asumsi. Kalau terjadi kesalahan, hampir tidak pernah ada sanksi. Mungkin mendasarkan diri pada angka-angka yang tak seberapa, jadi semua kemungkinan akan dimaklumi. Pantas saja kalau berkubang di pendidikan tidak selalu berpendidikan.

Jadi, mau sampai kapan dilema ini akan dibebaskan?

Wallahu a’lam

MANUSIA BUKAN BENDA

Permasalahan yang terjadi pada manusia bukanlah persoalan biasa. Tidak bisa diukur dari satu sudut saja, kemudian dengan mudah diucapkan oleh lisan atau dipandang dari kejauhan. Dalam setiap kejadian, selalu ada motif dan tujuan. Dalam setiap perbuatan, selalu ada awalan, dan hal itu akan menentukan akhiran.

Seharusnya, setiap manusia harus mengetahui sejak dini, apa-apa yang dimiliki, supaya tidak menyia-nyiakan dirinya. Setiap manusia adalah cerdas, pintar, rajin, tekun, bersungguh-sungguh, dan tak kenal menyerah. Kalau yang terjadi adalah sebaliknya, itulah permasalahan yang harus ditelusuri: sejak kapan? Apa sebab? Siapa yang terlibat? Sebelum menjadi terlambat.

Sejatinya, semua yang ada di manusia adalah luar biasa. Itu titipan Allah sebagai Pencipta. Allah membekali manusia untuk sukses di kehidupan dunia, supaya berbahagia di kehidupan selanjutnya. Allah menjamin, siapa manusia yang serius mengembangkan potensi dirinya, mereka ditunggu oleh semesta, yang siap memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketika melihat sesuatu, organ yang terlibat bukan hanya mata. Tapi menjalar ke Seluruh organ yang terlibat dalam

Seandainya manusia telah turun derajat menjadi benda, tanpa pikiran dan tiada perasaan, karena sama sekali tidak mampu berpikir, meskipun hanya bolak-balik logika, dan manusia itu sudah menjadi raja tega, setidaknya acuh saja dengan kondisi sekelilingnya, tetap saja manusia itu tidak bisa dianggap benda.

Andaikan benda mengalami kerusakan, ada bengkel yang siap melakukan pemeriksaan. Andai masih bisa diperbaiki, spare part nya tinggal diganti. Kalau hanya sekadar ada yang putus sambungan atau copot kedudukan, ya tinggal dikembalikan atau disambungkan. Andai kerusakan itu tidak bisa ditanggulangi, jadilah rongsokan, dan siap-siap dimutilasi.

Oleh karena itu, manusia tidak ada pilihan lain kecuali menyadari kesempurnaan dan berbahagia dengan kepercayaan. Jangan potensi itu dibuang, dicampakkan, ditinggalkan, atau dibiarkan.

CAHAYA DI ATAS CAHAYA

Tetiba lampu-lampu dimatikan, padahal sedang ada yang menggunakan. Biasanya semua lampu dihidupkan, meskipun pemborosan. Kalau satu lampu sudah menerangi, kenapa harus sepuluh lampu? Selagi rekening masih bisa dibayar, ada angkuh dalam pencahayaan. Himbauan dari PLN tidak diindahkan, katanya masih sanggup membayar tagihan. Begitulah manusia tanggung tanpa kedalaman.

Ternyata, malam itu ada makhluk Allah yang sedang menggembirakan pencahayaan. Mereka terbang dan bersenang-senang. Oleh manusia dihindarkan, kalau bukan membenci kedatangan. Itulah sebabnya lampu-lampu dimatikan. Nanti repot harus membersihkan. Padahal bukan dirinya yang mengerjakan. Dengan modal uang, dia memanggil tenaga suruhan. Dengan uang, dia tak akan pernah mendapatkan ketenangan.

Wah hamba bisa kena pasal pelecehan, atau dituduh meremehkan. Apalagi uang sudah menjadi Tuhan. Tapi mari kita buktikan, dengan membuka pintu kesadaran. Andai makhluk itu datang, dan lampu-lampu tidak perlu dimatikan. Kita nikmati saja yang bersenang-senang. Bukankah bertemunya laron dengan cahaya, itulah kebahagiaan? Kita harus berbahagia karena memberi jalan kebahagiaan.

Kalau lampu dimatikan, kesempatan di malam itu disia-siakan. Entah kapan bisa terulang. Bisa jadi sebagai ujian, dan manusia tak layak menjadi hamba. Kata Allah, “Hey laron, pergi ke tempat lain saja. Manusia-manusia di sana tidak terima melihat kalian berbahagia.” Oh betapa sedihnya, telah dicap Sang Pencipta sebagai penutup nikmat dan penghalang kebahagiaan. Tentu, hanya bagi yang merasa sedih.

Di dunia, ada banyak manusia. Tugasnya memakmurkan dunia. Tapi banyak diantara mereka yang miskin kesadaran. Dunia menjadi teraniaya, termasuk diri pribadinya. Meskipun usia sudah puluhan, belum tentu mampu merasakan. Andai ada yang mengingatkan, jurusnya segera dikeluarkan: “Selagi muda tak boleh menasihati yang tua, apalagi melawan.” Begitulah jurus yang pertama.

Banyak manusia yang tidak tahu bahwa dirinya sangat bercahaya. Tentu, cahaya itu tidak akan terlihat oleh mata. Tapi terasakan oleh jiwa. Ketika bersama-sama, manusia bercahaya tidak akan pernah menekan saudaranya. Justru, mereka akan menawarkan sumber dayanya untuk meringankan beban di sekelilingnya. Jika yang terjadi sebaliknya, cahaya itu sudah tidak bersama mereka.

Sebagai tanda-tanda, bahasanya selalu positif, untuk membahagiakan lawan bicara. Tak ada tekanan yang memojokkan, apalagi hobi menyalahkan. Tak ada sindir-menyindir, apalagi melecehkan. Meskipun pernah berhutang, tapi tidak akan pernah ada tagihan. Bersama mereka, bukan sampah yang diterima, tapi hadiah yang menyejukkan dada. Begitulah kesehariannya.

Selain bahasa, pertemuan dengan mereka adalah tukar-menukar senyuman. Meskipun sekilas saja. Justru, semakin lama bersua, kalau tidak ada kebutuhan yang teragenda, semakin dirasa tidak berguna. Bukan karena ada kebutuhan, kemudian ada pertemuan. Tapi, bertemulah secukupnya saja, sebagaimana berbahasa dalam sebaik-baiknya bahasa.

Andaikan tidak bertatap muka, selalu ada do’a yang dikirimkan untuk saudaranya. Meskipun tidak diminta. Secara otomatis sudah terprogram dalam jiwa mereka. Permohonan dari mereka adalah hadiah yang luar biasa. Kiriman benda belum tentu berguna, dan kiriman uang sebagai perantara. Kedamaian adalah pondasinya. Mu’min-muslim statusnya. Semoga muhsin menjadi cita-cita.

Kepada mereka, banyak manusia tidak menyukainya. Entah apa alasannya. Banyak yang malu jika terbuka, kecuali hati mereka telah meninggal dunia. Sebagai tanda-tanda, lihatlah ke masjid-masjid di sekitar mereka. Okupansi masjid hanya sepersepuluh dari luasan yang ada. Semangat mereka telah dicukupkan ketika mencari dana dan membangun saja. Setelah itu, energy mereka sudah tidak tersisa.

Selama di dunia, cahaya itu harus dijaga. Allah sebagai sumber cahaya. Manusia harus mendekati Allah supaya dirinya tetap bercahaya. Shalat itu bukan untuk Allah, tapi untuk manusia supaya tetap bersinar di dunia. Meskipun bercepat-cepatan, itu masih lebih baik daripada yang selamanya kelupaan. Prinsip pengulangan adalah melakukan perbaikan sampai nyawa dikembalikan.

Manusia yang bercahaya sangat disukai dan banyak yang cinta. Bukan hanya Allah, tapi makhluk gaib pun ikut serta. Ada bahasa, “Cinta pada pandangan pertama.” Itulah takdir untuk si cantik rupa. Bagi makhluk bercahaya, porsinya bukan pada pandangan, tapi pada kesan yang ditampilkan. Mereka tidak sengaja, mereka hanya menjaga, bukan sekadar image, tapi memelihara kesempurnaan titipan-Nya.

Makhluk gaib itu tidak hanya dari kalangan jin. Justru, saudara-saudara yang terlebih dahulu meninggal dunia. Mereka akan berkerumun menikmati kebaikannya. Kaum jin merasa senang dengan cahaya yang dipancarkan. Kaum mayyit pun merasa nyaman dengan pancaran ‘amalan hamba-Nya. Getaran dari dzikr dan hadiah dari kepasrahan (tawakkal) oleh Allah disebarkan ke lingkungan sekitarnya.

Tetiba saja muncul ketukan, “Kenapa lampu harus dimatikan?” Kalau tidak digunakan, memang harus dimatikan. Jangan dikaitkan dengan alasan tagihan, tapi berprinsip atas kesadaran, “Kalau tidak bisa berkata baik, ya lebih baik diam.” Laron-laron dihadirkan untuk memberitahukan, “Wahai manusia, cahayamu jangan dipadamkan, sampai duniamu dituntaskan. Apakah kehadiran kami mengganggu kalian?”

Wahai manusia, janganlah berbangga dengan kebodohan. Sebagaimana pohon-pohon menjadi ‘korban’. Ada yang beralasan uang, ada juga yang merasa cape dengan kebersihan. Katanya kepanasan, apalagi jika hari sedang terik di waktu siang. Tapi kenapa payungnya malah ditebang? Parkir mobil itu selalu mencari pohon yang rindang, kenapa pikiran (si kaya itu) tidak sampai pada oksigen untuk pernafasan.

Begitulah kebodohan, akan meredupkan pencahayaan. Hati mati, pikiran sesat, dan wajah pun menjadi gelap. Kombinasi yang baik untuk menjadi kufur nikmat. Kenapa Allah tidak menciptakan uang? Karena manusia akan menjadi makhluk bayaran. Tak ada uang, selalu disebut pengangguran. Kenapa Allah tidak muncul menampakkan? Supaya manusia menikmati kesadaran dan setiap saat melakukan pengabdian.

Ayo nyalakan semangat, kejar ma’rifat untuk menuju hakikat. Perjalanan dunia hanyalah sementara. Tak lebih dari 100 tahun usia. Esok lusa entah masih ada, meskipun agendanya telah disusun sejak lama. Bagi yang tidak beragama, selamat menikmati dunia. Alam akhirat bukan jatah mereka. Keyakinannya tidak sampai ke sana. Hati, jiwa, dan perasaannya tidak berguna, meskipun selalu diketuk oleh Sang Pemelihara.

Masa sih, manusia harus belajar dari laron? Wallahu a’lam.

HILIR MUDIK PERSELISIHAN

Sebagai makhluk hidup, berbeda pendapat itu biasa. Tidak semua manusia berjalan ke arah yang sama. Meskipun arahnya sama, tidak semua bertujuan sama. Meskipun tujuannya sama, cara/metodenya belum tentu sama. Meskipun metodenya sama, belum tentu juga akan menghasilkan produk yang sama. Apalagi pelakunya bernama manusia. Allah membuat manusia dengan perbedaan dalam persamaan dan persamaan dalam perbedaan. Sentuhan manusia adalah kuncinya.

Dalam perbedaan itu, ada manusia yang memahami secara baik, karena wawasan dan pengetahuannya cukup baik. Ada juga yang berselisih faham dan berbantahan. Apalagi jika dibumbui dengan tuduhan, maka perselisihannya semakin tajam. Padahal, mereka belum tentu memahami apa yang disengketakan. Ditambah lagi dengan ketidaksediaan perasaan untuk memahami persoalan, membawa pikiran tanpa kecerdasan. Seandainya lisan tidak bisa dikendalikan, pertengkaran tak terhindarkan.

Oleh kebodohan, persengketaan itu dijaga, jangan sampai padam. Tidak ada keseruan kalau perselisihan itu terselesaikan. Entah siapa, untuk apa, kenapa, dan bagaimana awal mula perbedaan itu menjadi pertikaian. Padahal Allah menghadirkan perbedaan untuk penggabungan. Semakin banyak bantuan, semakin ringan mengangkat beban. Manusia harus menyeimbangkan. Tidak boleh selalu meminta bantuan, sebagaimana tidak boleh menolak bantuan. Seimbanglah dalam keadaan.

Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa sendiri-sendiri, tidak mampu hidup sendiri. Secara lahir, setiap manusia adalah hasil kerja bersama. Ada yang melayani, ada juga yang dilayani. Ada yang tugasnya membantu, ada juga yang menerima dibantu. Setelah itu, ambil kesempatan untuk membalikkan peran, supaya kedua pihak menjadi faham bahwa mengangkat beban harus dengan kesungguhan dan kebersamaan. Beban ini bukan warisan kewajiban, tapi sejumlah puzzle yang menyeimbangkan.

Keseimbangan adalah kata kunci dalam perbedaan. Orang dewasa harus berbeda dengan anak-anak. Ajaibnya, setiap orang dewasa mengalami masa kanak-kanak. Laki-laki harus berbeda dengan perempuan. Gabungan keduanya merupakan kewajiban. Kalau memaksa hidup sendiri, pastilah ekstrimis kiri atau ekstrimis kanan. Kalau tidak rendah diri, pastilah angkuh, egois, dan sombong. Manusia, ada saatnya untuk sendiri, ada saatnya untuk bersama-sama. Lama saatnya tergantung pada kebutuhan dan tujuan.

Berkeluarga adalah kegiatan gabungan dalam rangka menanggung beban. Kebahagiaan harus menjadi tujuan. Bahkan harus menjadi teman perjalanan. Ketika menanggung beban, kebahagiaan harus dihadirkan. Setiap manusia bisa memikirkan, mempersiapkan, bahkan harus memanggil kebahagiaan dalam setiap perjalanan. Seberat apapun beban, tugasnya bukan hanya dipikirkan atau dirasakan. Justru itu, kemampuan mengangkat beban tergantung pada gabungan pikiran, perasaan, dan aktualisasi anggota badan.

Berkeluarga adalah keseimbangan diantara keramaian dan kesendirian. Setelah sekian lama menyendiri, pada titik tertentu harus segera berkeluarga. Semakin tambah usia, manusia kecil harus menjadi dewasa. Dengan bekal yang tersedia, setiap manusia harus berkeluarga. Apapun yang terjadi, segala alasan harus dihindari. Secara awal harus disadari bahwa manusia sudah dilatih sebagai makhluk tangguh. Oleh karena itu jangan beralasan, apalagi mengeluh, supaya kemuliaannya tidak runtuh.

Lamanya keluarga adalah selama kehidupan. Kalau harus berpisah, kejadian pisahnya harus melalui kematian. (jika) Selain (oleh) kematian, manusia harus malu dengan kesempurnaan. Allah sudah menciptakan, dengan sebaik-baiknya penciptaan, dengan bekal yang dibutuhkan, dengan teman-teman yang dihadirkan, dengan keluarga yang berkasih-sayang, dengan semesta yang dihadirkan dan ditundukkan. Kenapa pemberian itu diabaikan? Sejak kapan ditinggalkan?

Hidup ini telah dimudahkan. Tapi dipersulit oleh kemanusiaan. Ada banyak manusia yang merasa tahu, kemudian merasa pintar, dan tidak menerima peringatan. Mereka sudah merasa cukup dengan keduniaan, bahkan sangat berlebihan. Apa-apa dilebihkan, sehingga tidak malu dipamer-pamer dan ditampilkan. Padahal, itu karena Allah telah memudahkan, membiarkan manusia dalam kegelapan, karena manusianya sendiri memilih kebodohan. Nanti, alam semesta ikut mengajukan tuntutan, apakah mereka bisa memberi jawaban?

Tidak perlu menunggu nanti, sekarang pun sudah jelas diberitahukan. Hanya sedikit manusia yang berpikir tentang masa depan. Mereka lupa dengan tugas yang sesungguhnya. Ketika dunia ditampilkan, manusia kesilauan. Mereka pun memutuskan untuk mengejar yang di depan mata. Katanya, sudah jelas-jelas terasa, dan setiap saat bisa dinikmati. Akhirat terlalu jauh untuk disadari, karena bimbingannya dalam hati. Sedangkan hati tidak bisa berkata-kata kecuali mengajak manusia untuk mengendalikan diri.

Dengan demikian, bagaimana mungkin cekcok akan berkesudahan, kalau tiang-tiang keluarga bukanlah tiang yang kokoh secara agama. Kalau sandaran mereka adalah dunia, maka bersiaplah dengan tagih-menagih jasa. “Ada uang abang disayang. Tak ada uang, abang ditendang.” Kemudian saling berbalasan. Setiap saying disesuaikan dengan transfer pendapatan. Tak ada pendapatan, mana mungkin ada kebahagiaan. Setiap hari saling mengendalikan. Perselisihan pun tak berkesudahan.

Wahai manusia, perjanjian itu tidak melulu tentang transaksi. Ada hal-hal yang lebih substansi daripada transaksi. Kalau benar-benar merasa professional, tunaikan dahulu segala hutang kepada Allah. Semakin dibantah, maka akan semakin banyak masalah. Allah tidak pernah menuntut, karena Allah Maha Kaya dan Maha Segalanya. Justru manusialah yang miskin dan dhu’afa. Sedikit masalah dengan tetangga, gugatannya seperti prahara. Kalau belum faham, maka jangan menggembirakan kebodohan.

Pada tingkat pertama, semua manusia harus mengalami percekcokan. Kesempurnaan itu harus diwujudkan,”Oh beginilah rasanya pertengkaran.” Semua manusia harus merasakan. tapi tidak untuk dipelihara dan dibesar-besarkan. “Adakah keuntungan materil dari pertikaian? Adakah secara moril?” Perasaan cekcok itu harus dihadirkan, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Jangan berkali-kali, apalagi lebih dari sepuluh kali. Setelah itu, berjuanglah untuk menghindarkan, dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri dari pertengkaran.

Secara awal, berusalah pada diri, sebagai pelatihan pribadi. Lagi-lagi, orang tua menjadi kunci. Pelatihan itu dilakukan setiap hari, sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Ibunya sebagai pelatih empati, dan ayahnya penyokong abadi. Keduanya harus berkolaborasi dalam mempersiapkan manusia-manusia yang kukuh dan simpati. Ini akan menjadi modal dasar yang luar biasa, supaya di kehidupan tidak menyumbang kekacauan. Kalau masalah itu muncul dari pribadi, maka permasalahan itu telah diselesaikan sejak pagi hari.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Justru, masalahnya terletak pada kemauan. Janganlah ego pribadi menyengsarakan diri. Apalagi sampai dibawa mati. Sebagai laki-laki, jentelmen adalah kewajiban. Sebagai perempuan, kemuliaan adalah tuntunan. Urusan kemauan adalah bagian kecil dari kedua sisi tersebut. Tapi, yang kecil ini justru jantungnya kehidupan. Meskipun kecil sekali, kalau statusnya ‘jantung’, seharusnya manusia mencurahkan perhatian dan berjuang untuk menghadirkan dalam berbagai kesempatan.

Tentang kemauan, hamper semua manusia mengalami kesulitan dalam pembuktian. Saya mau kaya, tapi tidak mau usaha. Saya mau pintar, tapi tidak mau membaca. Saya mau maju, tapi untuk berjalan saja seringkali tidak mau. Saya ingin sekali hidup tenang, tapi tak sekalipun tadabbur Alquran. Saya ingin damai dalam kehidupan, tapi orang tua selalu dikecewakan. Bagaimana mungkin semesta menghembuskan, sementara Allah dan pasukan-Nya selalu dijauhkan?

Dalam berkeluarga, setali tiga uang. Ibu-ibu menjadi kunci kebahagiaan maupung kehancuran. Berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian. Tiada bahagia tanpa perjuangan. Dan kebahagiaan itu bukanlah dalam ukuran uang. Ada banyak sekali perempuan, tapi mereka bukan seorang ibu. Ada banyak perkawinan yang dimeriahkan, tapi kemeriahan itu tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Sekali uang menjadi ukuran, sepanjang hidup terjajah dengan keuangan.

Ukuran keuangan hanyalah statistic di kehidupan dunia. Mereka tidak sanggup mengukur kedalaman, jadilah bermain di permukaan. Padahal, apa yang tampak hanyalah secuil dari yang tidak tampak. Ada seorang suami, terus menerus dicurigai. Meskipun cantik, istrinya ‘sakit hati’. Segudang penjelasan sudah diberikan suami, tapi setiap hari diinterogasi. Sampai kapan akan berhenti? Mungkin si suami harus hara-kiri, untuk membuktikan ke istri bahwa dirinya telah mengabdi.

Adakah penyesalan dari si istri? Selama orientasi dunia masih menghantui, interogasi si istri takkan berhenti. Jual-beli pun mungkin terjadi, apakah untuk investigasi, ataukah ada balasan dari suami. Kepercayaan sudah tidak dibutuhkan lagi. Akhirnya mereka pergi. Semoga stok kesabaran masih cukup banyak di suami. Kalau sudah habis, perceraian pun akan terjadi. Sebelum perceraian, mereka akan berkutat dalam lingkaran kebohongan, termasuk berbohong kepada diri sendiri. Sejak kapan kepercayaan itu hilang?

Sejak menciptakan, Allah selalu mempercayakan. Lihatlah matahari, tak pernah letih mengabdi. Meskipun banyak manusia yang menganiaya diri sendiri, matahari tak berhenti menyinari. Lihat juga ke bulan purnama. Banyak manusia yang menunggui masa itu tiba. Selama cerah menghiasi angkasa, si purnama akan tiba pada waktunya. Belajarlah ke udara, sebelum jatah manusia ditarik senja. Mereka tak pernah membalas manusia, meski manusianya sering menantang dan lupa daratan.

Setelah pikiran disingkirkan, manusia telah resmi menjadi hewan. Oleh karena itu banyak yang beradu di jalanan. Setiap manusia, seharusnya menyebarkan salam, faktanya menjual kesempurnaan. Kemuliaan dicampakkan. Keimanan pun digadaikan. Bahkan, dalam banyak kesempatan telah diperjualbelikan. Menarik nafas adalah kewajiban. Tapi setelah itu, tidak pernah ada kuitansi tagihan. Andaikan debt collector diizinkan, tidak ada lagi manusia sombong yang berkeliaran.

Kelakuan manusia sudah tidak masuk di akal lagi. Apalagi kalau diukur dengan hati nurani. Semakin hari, manusia semakin berani. Bukan kecerdasan yang ditampilkan, tapi kebodohan yang dibangga-banggakan. Hatinya banyak yang mati, kebaikan manusia sudah lama pergi. Sampai saatnya nanti, penyesalan mereka tidak akan pernah berhenti. Sejak mati, dalam kubur hari demi hari, tiba-tiba kaget karena dibangkitkan dari mimpi. Setelah itu, menyesali diri, merengek-rengek ingin kembali, salahnya sendiri tidak sadar diri.

Sesungguhnya, Allah telah memberikan jalan. Siapa istiqomah, dia akan setia di jalan kebaikan. Allah mencintai kebaikan karena Allah Maha Baik dalam kehidupan. Jalan itu lurus sekali, bisa dipacu dalam kecepatan tinggi. Sesekali ada kelokan, supaya manusia tidak merasa bosan. Sampai kapan manusia akan berselisihan jalan?Wallahu a’lam.

HARI-HARI PENYESALAN

Sayang ya, kenapa ga dari kemarin-kemarin? Tau gitu mah, saya teh siyap-siyap. Lepas lagi deh peluang. Seharusnya bisa digenggam, sekarang mah melayang. Kenapa terus menerus berulang sih? Tidak kapok-kapok! Apa harus menunggu nangis darah? Supaya benar-benar berubah?

Sungguh, rejeki itu jaminan Allah. Rejeki itu disebarkan sebagaimana kebutuhan. Kalau ada yang berlebihan, itu sekaligus sebagai ujian. Sebutlah sebagai keinginan. Manusia diuji untuk mengendalikan keinginan, dan disebarkan sebagai pemenuhan kebutuhan. Jika kebutuhan dirinya sudah terpenuhi, berarti kelebihan itu untuk selain dirinya.

Rejeki itu tidak terbatas pada uang, yang kemudian manusia bisa bersenang-senang. Ada banyak jenis rejeki yang disediakan, sebagaimana anggota badan membutuhkan.

Tentang uang, Allah telah memperingatkan. Jangan disimpan, atau ditumpuk-tumpuk demi kebanggaan. Nanti kebablasan. Bisa-bisa dan lama-lama terbiasa, manusia diperbudak oleh uang. Tidak banyak yang selamat. Hanya sedikit yang terbaik. Itulah mereka yang selalu lancar mengalirkan.