PERASAAN DALAM DILEMA

Ada mahasiswa. Dia memutuskan berbeda. Tidak mau seperti yang lainnya. Mungkin yang lain saja yang “harus” bergaya seperti dirinya. Dalam marketing, positioning itu sangat penting. Tapi dalam pembelajaran, memilih berbeda itu harus bersiap-siap dengan konsekuensi penilaian.

Andaikan pembeda itu masih sejalur dengan prinsip-prinsip pembelajaran, tentu tidak masalah. Bahkan menjadi validasi atas keunikan manusia. Tapi kalau pembeda itu di luar frame yang tersedia, sebaiknya tidak usah memaksakan diri menjadi sarjana. Nanti, terlalu banyak Dosen “dibuat” berdosa.

Misalnya saja. Seorang sarjana itu harus bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak yang berdebat tentang alat ukurnya dan bagaimana menimbangnya. Apalagi di luar sana, urusan beragama itu tidak mau dicampuri. Kata mereka, itu urusan pribadi. Hanya dia dengan Tuhannya.

Beruntung dalam Islam tidak demikian. Secara Islam, setia kepada ajaran agama adalah keuntungan tiada duanya. Ketenteraman adalah jaminan, dan ke surga tidak boleh sendirian. Kalau ada yang salah jalan, masa sih tidak diperingatkan? Kalau ada yang mau masuk jurang, masa sih dibiarkan?

Sebagai alat ukur, Allah tetapkan membaca sebagai tugas yang pertama. Tujuannya sangat luar biasa. Membaca adalah jendela dunia. Pikiran si pembaca akan diajak melanglang buana. Lisan mereka akan terjaga. Dan mereka akan disibukkan dengan membuat karya. Segala yang tidak berguna akan dijauhkan segera.

Kepada mahasiswa tadi, ukuran membaca belum diterapkan sebagai instrumen penilaian. Hanya saja, hamba sudah terbantu dengan asumsi dan teori. Kosongnya bacaan akan membuat kosong isi pikiran. Kalau tidak ada isi dalam pikiran, bagaimana mau memikirkan? Hanya untuk menyampaikan pertanyaan pun, belum layak disebut berkemampuan.

Di ruang pembelajaran, kehadirannya rendah sekali. Sekalinya hadir, pikirannya tak nampak hadir. Beberapa kali hamba melewati, daripada memancing emosi. Kalau hamba dianggap tak ada hati, mungkin hatinya telah lama mati. Darinya kesulitan mencari empati. Dia tidak mampu menghadirkan perasaan dan pikiran, aktivitasnya hanya gadget dan jari-jemari.

Entah kenapa, muncul saja tulisan huruf D. Terlintas dalam pikiran dan tergores dalam perasaan. Itulah “nilai” yang pantas dia dapatkan dari proses pembelajaran. Dan saya bersiap dengan kemungkinan gugatan dan tuduhan. Saya selalu menunggu di setiap pertemuan, adakah perubahan? Ternyata tidak saya dapatkan.

Apakah itu sudah menjadi pilihan? Kita tunggu reaksi setelah nilai diumumkan. Saya merasakan kasihan. Tapi saya tidak menemukan alasan yang pantas untuk memberi puncak penilaian. Orang tuanya yang harus menjelaskan, apakah karena pemaksaan, atau kelemahan dalam pendidikan.

Kampus tidak boleh menjadi korban, sehingga menjadi stempel tipu-tipuan. Katanya memiliki kompetensi, tapi kemampuan dasar pun tak dimiliki. Kalau untuk sekadar bekerja, kenapa harus berijazah tinggi-tinggi? Kalau hanya wara-wiri dan disuruh menyeduh kopi, tak perlu banyak kompetensi, asal etika sudah melekat di hati.

Dalam pembelajaran, semua pihak harus sehati. Peserta didik dan orang tua adalah yang utama, sehingga tidak salah memilih kawah candradimuka. Lembaga pendidikan dan penduduknya adalah pihak kedua. Sama pentingnya dengan pihak pertama. Kedua belah pihak harus intens berkomunikasi, karena manusia bukanlah benda mati.

Selama berkecimpung di dunia pendidikan, semuanya berisi asumsi. Kalau terjadi kesalahan, hampir tidak pernah ada sanksi. Mungkin mendasarkan diri pada angka-angka yang tak seberapa, jadi semua kemungkinan akan dimaklumi. Pantas saja kalau berkubang di pendidikan tidak selalu berpendidikan.

Jadi, mau sampai kapan dilema ini akan dibebaskan?

Wallahu a’lam

Published by guscholis

abi mah jalmi ipis

Leave a comment