HILIR MUDIK PERSELISIHAN

Sebagai makhluk hidup, berbeda pendapat itu biasa. Tidak semua manusia berjalan ke arah yang sama. Meskipun arahnya sama, tidak semua bertujuan sama. Meskipun tujuannya sama, cara/metodenya belum tentu sama. Meskipun metodenya sama, belum tentu juga akan menghasilkan produk yang sama. Apalagi pelakunya bernama manusia. Allah membuat manusia dengan perbedaan dalam persamaan dan persamaan dalam perbedaan. Sentuhan manusia adalah kuncinya.

Dalam perbedaan itu, ada manusia yang memahami secara baik, karena wawasan dan pengetahuannya cukup baik. Ada juga yang berselisih faham dan berbantahan. Apalagi jika dibumbui dengan tuduhan, maka perselisihannya semakin tajam. Padahal, mereka belum tentu memahami apa yang disengketakan. Ditambah lagi dengan ketidaksediaan perasaan untuk memahami persoalan, membawa pikiran tanpa kecerdasan. Seandainya lisan tidak bisa dikendalikan, pertengkaran tak terhindarkan.

Oleh kebodohan, persengketaan itu dijaga, jangan sampai padam. Tidak ada keseruan kalau perselisihan itu terselesaikan. Entah siapa, untuk apa, kenapa, dan bagaimana awal mula perbedaan itu menjadi pertikaian. Padahal Allah menghadirkan perbedaan untuk penggabungan. Semakin banyak bantuan, semakin ringan mengangkat beban. Manusia harus menyeimbangkan. Tidak boleh selalu meminta bantuan, sebagaimana tidak boleh menolak bantuan. Seimbanglah dalam keadaan.

Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa sendiri-sendiri, tidak mampu hidup sendiri. Secara lahir, setiap manusia adalah hasil kerja bersama. Ada yang melayani, ada juga yang dilayani. Ada yang tugasnya membantu, ada juga yang menerima dibantu. Setelah itu, ambil kesempatan untuk membalikkan peran, supaya kedua pihak menjadi faham bahwa mengangkat beban harus dengan kesungguhan dan kebersamaan. Beban ini bukan warisan kewajiban, tapi sejumlah puzzle yang menyeimbangkan.

Keseimbangan adalah kata kunci dalam perbedaan. Orang dewasa harus berbeda dengan anak-anak. Ajaibnya, setiap orang dewasa mengalami masa kanak-kanak. Laki-laki harus berbeda dengan perempuan. Gabungan keduanya merupakan kewajiban. Kalau memaksa hidup sendiri, pastilah ekstrimis kiri atau ekstrimis kanan. Kalau tidak rendah diri, pastilah angkuh, egois, dan sombong. Manusia, ada saatnya untuk sendiri, ada saatnya untuk bersama-sama. Lama saatnya tergantung pada kebutuhan dan tujuan.

Berkeluarga adalah kegiatan gabungan dalam rangka menanggung beban. Kebahagiaan harus menjadi tujuan. Bahkan harus menjadi teman perjalanan. Ketika menanggung beban, kebahagiaan harus dihadirkan. Setiap manusia bisa memikirkan, mempersiapkan, bahkan harus memanggil kebahagiaan dalam setiap perjalanan. Seberat apapun beban, tugasnya bukan hanya dipikirkan atau dirasakan. Justru itu, kemampuan mengangkat beban tergantung pada gabungan pikiran, perasaan, dan aktualisasi anggota badan.

Berkeluarga adalah keseimbangan diantara keramaian dan kesendirian. Setelah sekian lama menyendiri, pada titik tertentu harus segera berkeluarga. Semakin tambah usia, manusia kecil harus menjadi dewasa. Dengan bekal yang tersedia, setiap manusia harus berkeluarga. Apapun yang terjadi, segala alasan harus dihindari. Secara awal harus disadari bahwa manusia sudah dilatih sebagai makhluk tangguh. Oleh karena itu jangan beralasan, apalagi mengeluh, supaya kemuliaannya tidak runtuh.

Lamanya keluarga adalah selama kehidupan. Kalau harus berpisah, kejadian pisahnya harus melalui kematian. (jika) Selain (oleh) kematian, manusia harus malu dengan kesempurnaan. Allah sudah menciptakan, dengan sebaik-baiknya penciptaan, dengan bekal yang dibutuhkan, dengan teman-teman yang dihadirkan, dengan keluarga yang berkasih-sayang, dengan semesta yang dihadirkan dan ditundukkan. Kenapa pemberian itu diabaikan? Sejak kapan ditinggalkan?

Hidup ini telah dimudahkan. Tapi dipersulit oleh kemanusiaan. Ada banyak manusia yang merasa tahu, kemudian merasa pintar, dan tidak menerima peringatan. Mereka sudah merasa cukup dengan keduniaan, bahkan sangat berlebihan. Apa-apa dilebihkan, sehingga tidak malu dipamer-pamer dan ditampilkan. Padahal, itu karena Allah telah memudahkan, membiarkan manusia dalam kegelapan, karena manusianya sendiri memilih kebodohan. Nanti, alam semesta ikut mengajukan tuntutan, apakah mereka bisa memberi jawaban?

Tidak perlu menunggu nanti, sekarang pun sudah jelas diberitahukan. Hanya sedikit manusia yang berpikir tentang masa depan. Mereka lupa dengan tugas yang sesungguhnya. Ketika dunia ditampilkan, manusia kesilauan. Mereka pun memutuskan untuk mengejar yang di depan mata. Katanya, sudah jelas-jelas terasa, dan setiap saat bisa dinikmati. Akhirat terlalu jauh untuk disadari, karena bimbingannya dalam hati. Sedangkan hati tidak bisa berkata-kata kecuali mengajak manusia untuk mengendalikan diri.

Dengan demikian, bagaimana mungkin cekcok akan berkesudahan, kalau tiang-tiang keluarga bukanlah tiang yang kokoh secara agama. Kalau sandaran mereka adalah dunia, maka bersiaplah dengan tagih-menagih jasa. “Ada uang abang disayang. Tak ada uang, abang ditendang.” Kemudian saling berbalasan. Setiap saying disesuaikan dengan transfer pendapatan. Tak ada pendapatan, mana mungkin ada kebahagiaan. Setiap hari saling mengendalikan. Perselisihan pun tak berkesudahan.

Wahai manusia, perjanjian itu tidak melulu tentang transaksi. Ada hal-hal yang lebih substansi daripada transaksi. Kalau benar-benar merasa professional, tunaikan dahulu segala hutang kepada Allah. Semakin dibantah, maka akan semakin banyak masalah. Allah tidak pernah menuntut, karena Allah Maha Kaya dan Maha Segalanya. Justru manusialah yang miskin dan dhu’afa. Sedikit masalah dengan tetangga, gugatannya seperti prahara. Kalau belum faham, maka jangan menggembirakan kebodohan.

Pada tingkat pertama, semua manusia harus mengalami percekcokan. Kesempurnaan itu harus diwujudkan,”Oh beginilah rasanya pertengkaran.” Semua manusia harus merasakan. tapi tidak untuk dipelihara dan dibesar-besarkan. “Adakah keuntungan materil dari pertikaian? Adakah secara moril?” Perasaan cekcok itu harus dihadirkan, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Jangan berkali-kali, apalagi lebih dari sepuluh kali. Setelah itu, berjuanglah untuk menghindarkan, dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri dari pertengkaran.

Secara awal, berusalah pada diri, sebagai pelatihan pribadi. Lagi-lagi, orang tua menjadi kunci. Pelatihan itu dilakukan setiap hari, sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Ibunya sebagai pelatih empati, dan ayahnya penyokong abadi. Keduanya harus berkolaborasi dalam mempersiapkan manusia-manusia yang kukuh dan simpati. Ini akan menjadi modal dasar yang luar biasa, supaya di kehidupan tidak menyumbang kekacauan. Kalau masalah itu muncul dari pribadi, maka permasalahan itu telah diselesaikan sejak pagi hari.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Justru, masalahnya terletak pada kemauan. Janganlah ego pribadi menyengsarakan diri. Apalagi sampai dibawa mati. Sebagai laki-laki, jentelmen adalah kewajiban. Sebagai perempuan, kemuliaan adalah tuntunan. Urusan kemauan adalah bagian kecil dari kedua sisi tersebut. Tapi, yang kecil ini justru jantungnya kehidupan. Meskipun kecil sekali, kalau statusnya ‘jantung’, seharusnya manusia mencurahkan perhatian dan berjuang untuk menghadirkan dalam berbagai kesempatan.

Tentang kemauan, hamper semua manusia mengalami kesulitan dalam pembuktian. Saya mau kaya, tapi tidak mau usaha. Saya mau pintar, tapi tidak mau membaca. Saya mau maju, tapi untuk berjalan saja seringkali tidak mau. Saya ingin sekali hidup tenang, tapi tak sekalipun tadabbur Alquran. Saya ingin damai dalam kehidupan, tapi orang tua selalu dikecewakan. Bagaimana mungkin semesta menghembuskan, sementara Allah dan pasukan-Nya selalu dijauhkan?

Dalam berkeluarga, setali tiga uang. Ibu-ibu menjadi kunci kebahagiaan maupung kehancuran. Berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian. Tiada bahagia tanpa perjuangan. Dan kebahagiaan itu bukanlah dalam ukuran uang. Ada banyak sekali perempuan, tapi mereka bukan seorang ibu. Ada banyak perkawinan yang dimeriahkan, tapi kemeriahan itu tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Sekali uang menjadi ukuran, sepanjang hidup terjajah dengan keuangan.

Ukuran keuangan hanyalah statistic di kehidupan dunia. Mereka tidak sanggup mengukur kedalaman, jadilah bermain di permukaan. Padahal, apa yang tampak hanyalah secuil dari yang tidak tampak. Ada seorang suami, terus menerus dicurigai. Meskipun cantik, istrinya ‘sakit hati’. Segudang penjelasan sudah diberikan suami, tapi setiap hari diinterogasi. Sampai kapan akan berhenti? Mungkin si suami harus hara-kiri, untuk membuktikan ke istri bahwa dirinya telah mengabdi.

Adakah penyesalan dari si istri? Selama orientasi dunia masih menghantui, interogasi si istri takkan berhenti. Jual-beli pun mungkin terjadi, apakah untuk investigasi, ataukah ada balasan dari suami. Kepercayaan sudah tidak dibutuhkan lagi. Akhirnya mereka pergi. Semoga stok kesabaran masih cukup banyak di suami. Kalau sudah habis, perceraian pun akan terjadi. Sebelum perceraian, mereka akan berkutat dalam lingkaran kebohongan, termasuk berbohong kepada diri sendiri. Sejak kapan kepercayaan itu hilang?

Sejak menciptakan, Allah selalu mempercayakan. Lihatlah matahari, tak pernah letih mengabdi. Meskipun banyak manusia yang menganiaya diri sendiri, matahari tak berhenti menyinari. Lihat juga ke bulan purnama. Banyak manusia yang menunggui masa itu tiba. Selama cerah menghiasi angkasa, si purnama akan tiba pada waktunya. Belajarlah ke udara, sebelum jatah manusia ditarik senja. Mereka tak pernah membalas manusia, meski manusianya sering menantang dan lupa daratan.

Setelah pikiran disingkirkan, manusia telah resmi menjadi hewan. Oleh karena itu banyak yang beradu di jalanan. Setiap manusia, seharusnya menyebarkan salam, faktanya menjual kesempurnaan. Kemuliaan dicampakkan. Keimanan pun digadaikan. Bahkan, dalam banyak kesempatan telah diperjualbelikan. Menarik nafas adalah kewajiban. Tapi setelah itu, tidak pernah ada kuitansi tagihan. Andaikan debt collector diizinkan, tidak ada lagi manusia sombong yang berkeliaran.

Kelakuan manusia sudah tidak masuk di akal lagi. Apalagi kalau diukur dengan hati nurani. Semakin hari, manusia semakin berani. Bukan kecerdasan yang ditampilkan, tapi kebodohan yang dibangga-banggakan. Hatinya banyak yang mati, kebaikan manusia sudah lama pergi. Sampai saatnya nanti, penyesalan mereka tidak akan pernah berhenti. Sejak mati, dalam kubur hari demi hari, tiba-tiba kaget karena dibangkitkan dari mimpi. Setelah itu, menyesali diri, merengek-rengek ingin kembali, salahnya sendiri tidak sadar diri.

Sesungguhnya, Allah telah memberikan jalan. Siapa istiqomah, dia akan setia di jalan kebaikan. Allah mencintai kebaikan karena Allah Maha Baik dalam kehidupan. Jalan itu lurus sekali, bisa dipacu dalam kecepatan tinggi. Sesekali ada kelokan, supaya manusia tidak merasa bosan. Sampai kapan manusia akan berselisihan jalan?Wallahu a’lam.

Published by guscholis

abi mah jalmi ipis

Leave a comment